JOGJABROADCAST-KULON PROGO-Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dirasakan memunculkan rasa ketidak adilan . Hal tersebut terungkap manakala sejumlah elemen masyarakat Kulon Progo, perwakilan dari pelaku UMKM, pelaku seni, Event Organizer (EO), pondok pesantren SPSI DIY, dan lainnya menandatangani petisi yang meminta agar Lembaga Legislatif merevisi perda tersebut
Setyo Priyono salah seorang tokoh masyrakat mengemukakan bahwa , Petisi Elemen Ekosistem Industri Hasil Tembakau isinya secara tegas menolak segala bentuk kewenang-wenangan dan ketidakadilan yang melarang penjualan produk tembakau/rokok dengan upaya menutup-nutupi barang dagangan. Sebab produk tembakau barang legal, dan telah berkontribusi bagi penyerapan tenaga kerja, menggerakkan perekonomian daerah, dan penerimaan negara.
“Kami sebenarnya bukanlah menolak perda tersebut tetapi menolak segala bentuk upaya pelarangan total di Kulonprogo dalam hal pemajangan/display, iklan, promosi dan sponsor, maupun kemasan rokok polos tanpa identitas merek yang merupakan bentuk ketidakadilan dan mengancam mata pencaharian Kami. Terlebih sudah ada batasan umur pengguna yang meningkat menjadi 21 tahun,” kata Setyo Priyono warga Nahdliyin yang juga perwakilan pelaku UMKM, saat penandatanganan petisi di Pengasih, Kulon Progo Senin (24/2/2025).
Secara tegas dia menekankan bahwa pihaknya tidak anti terhadap Perda KTR, hanya saja ada beberapa pasal yang mengakibatkan terjadinya ketidakadilan pada masyarakat. Demi tegaknya rasa keadilan, maka Elemen Ekosistem Industri Hasil Tembakau se Kulon Progo mendesak agar Perda Kabupaten Kulon Progo Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) direvisi.
“Perlu ada revisi Perda KTR, sehingga kami sebagai perokok dan pelaku kegiatan di masyarakat terakomodasi dalam Perda tersebut. Pemerintah Daerah, seharusnya dapat membuat Peraturan terkait produk hasil tembakau yang adil juga berimbang dan memberikan perlindungan bagi seluruh tenaga kerja di dalamnya termasuk pedagang kecil dan pelaku UMKM yang semata-mata bekerja demi menghidupi ekonomi keluarga. Dengan demikian, kami tidak menjadi beban tambahan bagi pertumbuhan ekonomi sesuai visi misi Asta Cita Pemerintahan Presiden RI,” tandas Setyo.
Selain Setyo, petisi juga ditandatangani Rachmat Bayu Firdaus pelaku usaha EO, Akhmad Munib pelaku UMKM, Misroh Ahmadi dari Pondok Pesantren Zahrotul Janah, Rochmat pelaku seni religi, dan Nurcholis Fauzan Wakil Ketua SPSI DIY.
Rachmat Bayu Firdaus, perwakilan pelaku usaha Event Organizer mengaku sejak adanya Perda KTR, penyelenggara event di Kulon Progo banyak mengalami kerugian.
Pada pasal 9 Perda KTR disebutkan bahwa sponsor dari perusahaan rokok tidak boleh menggunakan merek dagang dan logo termasuk brand image produk tembakau serta tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau.
Dengan adanya aturan itu, otomatis dukungan sponsorship dari perusahaan rokok yang biasanya bernilai besar, tidak masuk ke Kulon Progo.
“Kita tidak bisa menggaet sponsor rokok. Padahal di lain kabupaten, rokok jadi pemilik dana terbesar sebagai pendukung kegiatan. Sehingga selama berlakunya Perda KTR ini hampir tidak ada kegiatan skala besar dengan sponsor dari perusahaan rokok di Kulon Progo,” ujar Rachmat.
“Ini tidak hanya berdampak pada kami penyelenggara event tetapi juga pada pelaku umkm, pengelola parkir, termasuk pemilik lahan yang disewakan untuk kegiatan,” katanya lagi.
Akhmad Munib, perwakilan pelaku UMKM yang sering berjualan di arena event mengaku tidak adanya sponsorship rokok dalam sebuah event sangat berdampak pada pelaku usaha kecil. Sponsorship perusahaan rokok pada sebuah event secara tidak langsung meringankan beban biaya sewa stan yang harus ditanggung pelaku usaha yang ingin berjualan di arena event. Sebaliknya para pedagang harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk berjualan di arena event yang tidak disponsori perusahaan rokok.
“Kalau tanpa sponsor acara itu bayarnya lebih mahal, UMKM bayar lebih mahal ke panitia. Misalnya kayak Manunggal Fair itu paling mahal harganya. Perbandingannya itu ibaratnya kalau di kabupaten lain yang ada sponsor rokok sewa stan pedagang itu hanya Rp 500 ribu, di Kulon Progo karena tidak ada sponsor besar terutama dari rokok ini sewanya bisa Rp 1,5 juta. Jadi pedagang kecil tidak bisa masuk,” katanya.
Misroh Ahmadi, Pengasuh Pondok Pesantren Zahrotul Jannah menyebut kegiatan pembinaan dan penguatan mental seperti pengajian akbar pun berkurang seiring tidak adanya sponsor dari perusahaan rokok.
“Kalau dulu kami bisa menggelar pembinaan mental itu banyak sekali, tetapi ketika sponsor tidak ada tentu sangat terbatas sekali. Tidak hanya itu, di wilayah lain dukungan CSR dari perusahaan rokok untuk pengembangan sarana prasarana pesantren juga cukup besar, tapi disini itu tidak bisa, disisi lain dana kami terbatas,” papar Misroh..
Ketika ditanya apa langkah selanjutnya Setyo yang mewakili elemen masyarakat tersebut akan menyerahkan petisi yang telah ditandatangani kepada DPRD Kulon Progo untuk dapat ditindaklanjuti. (*/dwi)